Tabloid Mahasiswa Idealita

Batusangkar, Sumatera Barat, Indonesia

Rabu, 10 November 2010

Memilih Pemimpin, Bukan Penguasa

Suksesi kepemimpinan adalah suatu kemestian dalam sebuah demokrasi, artinya dinamika demokrasi bisa diukur dari sebuah suksesi kepemimpinan. Tanpa adanya suksesi kepemimpinan yang dirancang secara periodik, ini menampakkan lemahnya dinamika demokrasi di daerah tersebut. Bangsa kita Indonesia dalam melansungkan suksesi kepemimpinan, dirancang dalam suatu bentuk pesta demokrasi, yang kita kenal dengan pemilu (pemilihan umum), ada beberapa bentuk dari pemilu di negeri kita ini, untuk pemilihan legislatif dinamakan dengan pemilu Caleg, untuk pemilihan Presiden dan Wapres, diberi nama pemilu Capres dan Cawapres, dan untuk pemilihan Kepala Daerah tingkat I (baca: Provinsi) dan tingkat II (baca: Kabupaten/Kota), dinamakan dengan PILKADA (Pemilihan Kepala Daerah) atau hari ini di Sumatera Barat dinamakan dengan PEMILU KADA (Pemilihan Umum Kepala Daerah).
Secara prinsip bentuk pesta demokrasi kita ini sudah melibatkan rakyat secara lansung sebagai pelaku demokrasi, baik itu menjadi wakil rakyat di pemrintahan, dan memilih secara lansung wakilnya atau pemimpin mereka untuk di berikan amanah kerakyatan dalam menjalankan pemerintahan demi mewujudkan kesejahteraan rakyat. Meskipun dalam proses pelaksanaanya masih terdapat ketimpangan-ketimpangan atau kecurangan-kecurangan yang itu mengkontaminasi pesta demokrasi tersebut. Kondisi tersebut sampai saat ini masih menjadi budaya dalam setiap kali dilansungkannya pesta demokrasi. Fenomena ini memunculkan sebuah persoalan, apakah pesta demokrasi yang diselenggarakan ini memilih pemimpin atau penguasa?

PEMIMPIN, BUKAN PENGUASA dan PENGUASA, BUKAN PEMIMPIN
Pemimpin dan penguasa, dua kata yang kontradiktif baik dari segi bahasa maupun dari segi substansi. Pemimpin merupakan orang yang memiliki visi kesejahteraan rakyat dan bersama rakyat mencapai visi tersebut, dan ia memainkan peran kepemimpinannya, dimana ia mengeluarkan kemampuannya untuk mempengaruhi orang yang dipimpinnya (baca: rakyat) dalam mencapai tujuannya, mempengaruhi rakyat disini dalam artian mengajak rakyat bersama-sama melakukan pembangunan kesejahteraan rakyat.
Penguasa merupakan orang yang memiliki visi kepentingan pribadi atau kelompok, sehingganya visi rakyat atau kebutuhan rakyat hanya menjadi alat atau media untuk mencapai kursi kekuasaannya. Penguasa dalam menjalankan roda pemerintahan ia akan menampakkan kekuasaannya, visi kerakyatan yang disosialisasikan perlahan memudar dengan tumbuh dan berkembangnya visi kepentingan pribadi dan kelompok. Dalam usahanya mencapai visi tersebut penguasa cenderung melakukan aktivitas tanpa melibatkan rakyat secara utuh, rakyat hanya diposisikan sebagai alat untuk mencapai visi kepentingannya.
Perbedaan yang signifikan antara pemimpin dan penguasa, menegaskan kepada kita, bahwsanya pemimpin itu bukan penguasa, dan penguasa itu bukan pemimpin. Hal tersebut terlihat jelas dari substansi dari dua hal tersebut, dimana pemimpin menjadikan rakyat sebagai kekuatannya dalam mencapi visinya, sedangkan penguasa menjadikan rakyat sebagai alat untuk mencapai visinya.

KAMPANYE PEMIMPIN VS KAMPANYE PENGUASA
Dalam proses pesta demokrasi di negeri kita, ada istilah yang kita kenal dengan kampanye, secara substansi kampanye merupakan suatu bentuk kegiatan sosialisasi diri serta visi dan program yang akan dilaksanakan selama periode kepemimpinan, dan dalam masa kampanye ini ada aturan-aturan yang mengikat bagi peserta pesta demokrasi. Akan tetapi pada tataran realitas semua aturan yang di tata secara baik dan sistematis, akhirnya melemah bersamaan dengan pelanggaran-pelanggaran yang terjadi selama masa kampanye tersebut, kondisi ini terjadi karena adanya oknum-oknum tertentu baik dari pihak pemimpin maupun penguasa yang melakukannya, persoalannya adalah karena pendidikan politik yang mereka dapati terbatas.
Dalam masa kampanye (baca: masa sosialisasi), juga terlihat perbedaan yang cukup signifikan antara kampanye yang dilakukan pemimpin dengan kampanye yang dilakukan oleh penguasa. Pemimpin dalam kampanye lebih mengutamakan pendekatan persuasif  kepada rakyat, bersama rakyat melakukan proses-proses lobi yang dialogis, tidak melakukan black campagne (kampanye hitam), dan money politic pun diminimalisir. Kampanye pemimpin lebih kepada memberikan pendidikan politik kepada rakyat, serta memberikan pemahaman visi, misi, serta program secara konkrit kepada rakyat.
Berbeda dengan kampanye penguasa, dimana pendekatan kolektif lebih sering dilakukan, dan proses-proses lobi yang dialogispun hanya terjadi pada tataran elit, black campagne cenderung dominan terjadi pada kampanye penguasa, begitu juga dengan money politic, atau dikenal juga dengan sebutan serangan fajar. Rakyat tidak mendapatkan pendidikan politik, rakyat hanya mendapatkan pembodohan dari proses kampanye yang dilakukan oleh penguasa, sehingganya visi, misi, serta program yang diusung oleh para penguasa hanya menjadi hiasan sementara bagi penguasa untuk mencapai kursi kekuasaan.

RAKYAT BUTUH SIAPA? dan MEMILIH, SIAPA?
Rakyat yang dalam hal ini menjadi obyek demokrasi, artinya rakyat dalam hal ini memiliki hak penuh dalam memilih siapa yang akan mewakili mereka di pemerintahan, yang akan memberikan kesejahteraan bagi mereka. Sehingganya pada proses pesta demokrasi ini rakyat memiliki kuasa penuh memberikan mandat atau amanah kepada peserta demokrasi. Dalam hal melakukan pemilihan rakyat secara nyata juga terjadi dualisme diantara mereka, ada mereka yang memilih pemimpin, namun juga ada diantara mereka memilih penguasa, apakah ini kebutuhan rakyat?, sehingga terjadinya dualisme dalam pilihan mereka.
Ketika kita analisa beberapa fenomena pemilu selama ini memang menampakkan akan pilihan rakyat tergantung kepada kebutuhan perorangan, bukan kebutuhan kolektif, artinya rakyat secara kolektif belum memiliki kebutuhan yang sama dalam sebuah pesta demokrasi, dan hal ini berimplikasi adanya dualisme pilihan mereka, yakni memilih pemimpin atau penguasa. Rakyat ketika dilihat dari kondisi kehidupan perekonomiannya, dominan dari mereka lebih memilih orang-orang yang mampu memenuhi kebutuhan ekonominya secara instan (baca: penguasa), dan kondisi ini belakangan sering terjadi, dimana adanya dikenal dengan serangan fajar yang dilakukan oleh peserta demokrasi.
Disisi lain rakyat yang memilih orang yang memiliki visi dan program kerakyatannya yang terukur dan jelas (baca: pemimpin), dan rakyat yang menetapkan pilihannya pada pemimpin ini juga memiliki kebutuhan, yakni kebutuhan yang permanen atau kebutuhan yang berkesinambungan, dan ini lah bedanya dengan rakyat yang memilih penguasa, dimana kebutuhan mereka instan dan tidak permanen, serta kesinambungannyapun di pertanyakan.
Hari ini, pemimpin maupun penguasa sama-sama memiliki peluang untuk duduk di pemerintahan, karena rakyat dengan segala persoalannya memberikan celah untuk pemimpin dan penguasa untuk maju menuju kursi pemerintahan. Secara prinsip, dahulu, sekarang dan yang akan datang, negeri ini butuh pemimpin, bukan penguasa, karena negeri ini butuh dipimpin, bukan untuk dikuasai.
Rakyat dengan kekuatannya menjadi penentu arah pembangunan negeri ini, artinya apapun kondisi hari esok, baik itu buruk, baik, sejahtera, melarat, banyak pengangguran, terbuka lebarnya lapangan pekerjaan, mudah atau sulitnya akses pendidikan dan kesehatan bagi rakyat, itu karena pilihan kita hari ini sebagai rakyat. Mari kita memilih pemimpin, bukan memilih penguasa. Wassalam…

Rezi M 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar